Asertivitas adalah suatu kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan kepada orang lain namun dengan tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan pihak lain.
Dalam bersikap asertif, seseorang
dituntut untuk jujur terhadap dirinya dan jujur pula dalam mengekspresikan
perasaan, pendapat dan kebutuhan secara proporsional, tanpa ada maksud untuk
memanipulasi, memanfaatkan ataupun merugikan pihak lainnya (Pratanti, 2007).
Menurut Pratanti (2007) Seorang
yang asertif memiliki kriteria:
Merasa bebas untuk
mengekspresikan perasaan, pikiran dan keinginan
Mengetahui hak mereka
Mampu mengontrol kemarahan -
Tidak berarti merepress perasaan ini, akan tetapi mengontrol dan
membicarakannya kembali dengan logis dan tidak dilandasi emosi semata.
Perilaku Asertif Menurut Beberapa
Ahli
1. Menurut Pratanti (2007) sikap
atau pun perilaku agresif cenderung akan merugikan pihak lain karena seringkali
bentuknya seperti mempersalahkan, mempermalukan, menyerang (secara verbal
ataupun fisik), marah-marah, menuntut, mengancam, sarkase (misalnya kritikan
dan komentar yang tidak enak didengar), sindiran ataupun sengaja menyebarkan
gosip.
2. Menurut Lazarus (Fensterheim,
l980) dalam Iriani (2009) perilaku asertif mengandung suatu tingkah laku yang
penuh ketegasan yang timbul karena adanya kebebasan emosi dan keadaan efektif
yang mendukung yang antara lain meliputi:
Menyatakan hak-hak pribadi
Berbuat sesuatu untuk mendapatkan
hak tersebut
Melakukan hal tersebut sebagai
usaha untuk mencapai kebebasan
emosi.
Seseorang dikatakan bersikap
tidak asertif, jika ia gagal mengekspresikan perasaan, pikiran dan
pandangan/keyakinannya; atau jika orang tersebut mengekspresikannya sedemikian
rupa hingga orang lain malah memberikan respon yang tidak dikehendaki atau
negatif (Pratanti, 2009).
Perilaku asertif merupakan
terjemahan dari istilah assertiveness atau assertion, yang artinya titik tengah
antara perilaku non asertif dan perilaku agresif.
Orang yang memiliki tingkah laku
atau perilaku asertif orang yang berpendapat dari orientasi dari dalam, yaitu:
Memiliki kepercayan diri yang
baik
Dapat mengungkapkan pendapat dan
ekspresi yang sebenarnya tanpa rasa takut
Berkomunikasi dengan orang lain
secara lancar.
Sebaliknya orang yang kurang
asertif adalah mereka yang memiliki ciri - ciri a). terlalu mudah mengalah/
lemah, b). mudah tersinggung, cemas, c). kurang yakin pada diri sendiri, d).
sukar mengadakan komunikasi dengan orang lain.
Perilaku asertif adalah suatu
tindakan yang sesuai dengan keinginan serta tetap menjaga dan menghargai perasaan dan hak
orang lain, mengekspresikan pendapat, saran, dan perasaan secara jujur dan
nyaman, serta dalam bertindak dapat memelihara hubungan interpersonal yang
harmonis dan efektif.
Ciri-ciri perilaku Asertif
Menurut Fensterheim dan Baer
(dalam Sikone, 2006), ciri-ciri individu yang berperilaku asertif adalah
sebagai berikut:
Bebas mengemukakan pikiran dan
pendapat, baik melalui kata-kata maupun tindakan
Dapat berkomunikasi secara
langsung dan terbuka
Mampu memulai, melanjutkan dan
mengakhiri suatu pembicaraan dengan baik
Mampu menolak dan menyatakan
ketidaksetujuannya terhadap pendapat oranglain, atau segala sesuatu yang tidak
beralasan dan cenderung bersifat negatif
Mampu mengajukan permintaan dan
bantuan kepada orang lain ketika membutuhkan
Mampu menyatakan perasaan, baik
yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan dengan cara yang tepat
Memiliki sikap dan pandangan yang
aktif terhadap kehidupan
Menerima keterbatasan yang ada di
dalam dirinya dengan tetap berusaha untuk mencapai apa yang diinginkannya
sebaik mungkin, sehingga baik berhasil maupun gagal ia akan tetap memiliki
harga diri (self esteem) dan kepercayaan diri (self confidence).
Berdasarkan ciri-ciri tersebut di
atas maka dapat disimpulkan bahwa orang yang memiliki sikap asertif adalah
orang yang memiliki keberanian untuk mengekspresikan pikiran, perasaan, dan
hak-hak pribadinya, serta tidak menolak permintaan-permintaan yang tidak
beralasan. Asertif bukan hanya berarti seseorang dapat bebas berbuat sesuatu
seperti yang diinginkannya, di dalam asertivitas juga terkandung berbagai
pertimbangan positif mengenai baik dan buruknya suatu sikap dan perilaku yang
akan dimunculkan
Aspek-Aspek perilaku Asertif
Alberti & Emmons (1995)
menyebutkan ada sepuluh kunci pokok yang merupakan aspek-aspek yang harus ada
pada setiap perilaku asertif yang dimunculkan oleh seseorang. Kesepuluh kunci pokok tersebut adalah:
Pengungkapan diri
Penghormatan terhadap orang lain
Jujur
Langsung
Tidak membedakan, menguntungkan
semua pihak
Verbal, termasuk isi pesan
(perasaan, hak-hak, fakta, pendapat-pendapat, permintaan-permintaan, dan
batasan-batasan)
Nonverbal, termasuk gaya dan
pesan (kontak mata, suara, postur, ekspresii muka, jarak, waktu, kelancaran, dan mendengarkan)
Bukan suatu yang universal
Bertanggung jawab secara social
Dipelajari, bukan sesuatu yang
dibawa sejak lahir.
Menurut Rakos (dalam Louk, 2005),
aspek-aspek perilaku asertif dapat dikategorikan sebagai berikut:
Content (isi), yaitu: perilaku
verbal atau apa yang dikatakan oleh seseorang kepada orang lain dalam
mengungkapkan hak dan kesungguhan
Paralinguistic, yaitu keberagaman
berbicara yang berbeda dari kata-kata aktual atau tata kalimat, memuat banyak
arti seperti nada suara, keras lembutnya, intonasi, irama, serta sikap
ragu-ragu menyampaikan informasi
Perilaku non verbal
Kemampuan berinteraksi.
Sungguh keliru jika kita mengira
bahwa bersikap asertif sama dengan tegas dalam menyatakan perasaan atau pikiran
secara blak-blakan, tak peduli orang lain menjadi kecewa atau sakit hati. Jadi
selain mampu menyatakan keadaan apa adanya, dalam situasi yang tepat, kita juga
harus mampu memahami orang lain. Inilah ciri khas perilaku asertif.
Situasi yang tidak sesuai dengan
kebenaran yang kita yakini tentu menimbulkan kekecewaan. Bila hal ini terlalu
sering kita alami dan membuat suasana
hati menjadi negatif, kita perlu bertanya pada diri sendiri: "Mengapa aku
mudah kecewa dengan keadaan yang aku alami?" Tidakkah ini berarti kita
lebih fokus pada faktor eksternal dalam diri kita? Sementara kesehatan
psikologis diketahui lebih banyak ditentukan oleh faktor internal dalam diri
sendiri, seperti konsep diri positif, berpikir positif, kecerdasan emosi, dan
sebagainya? Bila memiliki konsep diri positif, kita akan merasa nyaman dengan
diri sendiri dan cenderung dapat berpikir positif.
Bila menghadapi orang atau situasi
yang secara objektif tidak sesuai dengan norma standar kebenaran universal,
lewat kecerdasan emosi kita dapat menanggapinya dengan kepala dingin dan
memahami apa yang terjadi secara menyeluruh dan memilih respon yang tepat.
Dengan demikian, hubungan dengan orang lain akan berkembang positif dan hidup
terasa lebih menyenangkan. Sebaliknya, tanpa mengembangkan modalitas internal
seperti itu kita cenderung mudah kecewa dan marah. Kita bisa menyerang orang
lain dengan kata-kata yang menyakitkan, bahkan mungkin secara fisik.
Alkisah, seorang pria pimpinan
sebuah perusahaan, telah sepuluh tahun dikenal sebagai pemimpin yang pemarah
dan otoriter. Ia mudah sekali menjadi marah bila menghadapi anak buah yang
meminta penjelasan atas uraiannya (yang sebetulnya memang sering
membingungkan), yang menyanggah pandangannya, kurang menyimak saat diajak
bicara, atau dianggap tidak patuh. Ia juga mudah sekali marah pada kolega yang
memiliki pandangan berbeda dengan dirinya dan yang mencoba mengkritisi
pandangannya
Pendek kata, ia sangat sensitif
terhadap sikap orang lain yang dirasa kurang hormat dan kurang patuh. Dalam
kemarahannya (seringkali tubuhnya sampai gemetaran, raut wajah merah maron,
kata-kata tidak terkontrol, dll), dengan kata-kata ia menyerang pihak lain menuduh
pihak lain menghinanya, menfitnahnya, mezalimi,
atau mau menang sendiri.
Bahkan tidak tertutup kemungkinan
bisa beradu fisik. Dalam suasana demikian akhirnya ia justru menjadi bahan
pembicaraan buruk, menjadi populer dari sisi negatifnya, orang lain menjadi
apatis diam semu, dan cenderung
dihindari orang lain. Untunglah dalam perjalanan selanjutnya ia memiliki
kesadaran akan pentingnya memperbaiki hubungan dengan berbagai pihak. Ia dapat
merasakan bahwa kepemimpinannya menjadi tidak efektif karena rusaknya hubungan
dengan orang lain.
Dalam setengah tahun terakhir ini
ia tidak lagi memaksa orang lain untuk tunduk kepadanya, dan mulai lebih
terbuka menerima masukan, terutama dari para kolega dan anak buah yang ia
percayai. Saat mengemukakan pendapat pribadinya kepada anak buah, belakangan ia
sering memulai dengan menyatakan pujian atau persetujuan atas pandangan yang
telah ia tampung sebelumnya. Akhirnya ia menjadi pribadi yang disukai dan
kepemimpinannya lebih didukung.
Kisah penyesuaian diri ini merupakan
contoh konkrit efektivitas mengubah pendekatan dari agresif menjadi asertif.
Istilah asertif seringkali diartikan sebagai "tegas". Bahkan, orang
asertif juga sering digambarkan senang berbicara blak-blakan, menyatakan
pikiran dan perasaan apa adanya, tidak peduli respon orang lain. Ini merupakan
gambaran yang sungguh tidak tepat.
Perilaku asertif merupakan bentuk
pengembangan hubungan interpersonal yang bersifat memberi (menyatakan
kebutuhan, perasaan, dan pikiran secara langsung, jujur, dan dalam kesempatan
yang tepat), dan juga menerima (mendengarkan secara aktif apa yang menjadi
kebutuhan, pikiran, dan perasaan orang lain).
Bagaimanapun, tujuan perilaku
asertif adalah:
Membuat proses komunikasi
berjalan efektif
Membangun hubungan yang
kesetaraan, kesejajaran, dan saling
menghormati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar